AFBTVNews, Kota Kupang – Putusan Vonis Mahkamah Agung Republik Indonesia pada terdakwa Heri Pranyoto membuat publik bertanya-tanya.
Heri Pranyoto, merupakan terdakwa dalam kasus pemanfaatan aset Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berupa tanah seluas 31.670 meter persegi di kawasan Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat, divonis MA dengan hukuman tiga tahun penjara.
Putusan vonis MA tersebut berbeda dengan tiga terdakwa lainnya, yaitu Dra. Thelma Debora Sonya Bana, Lidya Chrisanty Sunaryo dan Bahasili Papan yang sudah mendapat vonis bebas tidak bersalah demi hukum dan dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana yang dituduhkan (bebas atau vrijspraak).
Perkara Nomor: 5878 K/Pid.Sus/2024 ini diputus oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung RI pada tanggal 19 September 2024, dengan amar putusan menetapkan terdakwa Heri Pranyoto terbukti bersalah sebagaimana Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP dengan pidana penjara 3 tahun dan denda Rp 100 juta subsidair 1 bulan kurungan.
Putusan MA ini menimbulkan pertanyaan oleh Tim Advokasi Peduli dan Selamatkan Pantai Pede yang merupakan kuasa hukum dari Heri Pranyoto, Kenapa putusan Vonis yang diberikan MA pada Heri Pranyoto berbeda.
Tim Advokasi Peduli dan Selamatkan Pantai Pede, berpandangan substansi perkara yang melibatkan kliennya ini merupakan bagian dari indikasi kriminalisasi terhadap Mitra Kerja Sama Swasta dalam pembiayaan proyek murni swasta terhadap aset daerah.
Putusan Mahkamah Agung untuk Heri Pranyoto menurut tim kuasa hukum, kontradiktif dengan pertimbangan putusan Mahkamah Agung untuk tiga terdakwa lainnya yang dinyatakan bebas.
Sebagaimana dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 5876 K/Pid.Sus/2024 tanggal 02 Oktober 2024 atas nama Bahasili Papan, Hakim Agung pemeriksa perkara menyatakan bahwa, “PT SIM telah membangun Hotel dan fasilitas lainnya di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, menggunakan biaya sendiri dan tidak menggunakan anggaran Provinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga keuntungan maupun kerugian investasi dari PT SIM ditanggung oleh PT SIM”
Tak sampai disitu, putusan MA untuk Heri Pranyoto juga kontradiktif dengan putusan dalam kasasi kasus perdata dengan pemohon Pemerintah Provinsi NTT dan termohon PT SIM, terkait Hotel Plago di lahan milik Pemprov NTT.
Dimana dalam putusan perkara kasasi Nomor: 5410 K/PDT/2024, tanggal 16 Desember 2024, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari pemohon Pemprov NTT, yang artinya, PT SIM yang merupakan perusahaan yang dipimpin oleh Heri Pranyoto tidak melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) apapun dalam kerja samanya dengan Pemprov NTT.
Tim kuasa hukum Heri Pranyoto mengaku heran dengan putusan MA yang memutus Heri Pranyoto dengan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor. Yang mana pasal tersebut seharusnya digunakan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau aparatur pemerintahan. Sementara Dra. Thelma Debora Sonya Bana yang saat kerja sama antara Pemprov NTT dan PT SIM dilakukan menjabat sebagai Kepala Bidang Aset dan Investasi Dinas Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT dinyatakan tidak bersalah hingga putusan kasasi.
“Klien kami, Heri Pranyoto oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI dinyatakan terbukti bersalah bersama-sama melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Tipikor. Namun, Pasal 3 Undang-Undang Tipikor seyogyanya ditujukan kepada Penyelenggara Negara dan Aparatur Pemerintahan yang menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Tidak logis dan tidak mungkin klien kami Heri Pranyoto, yang merupakan pihak swasta, dianggap sebagai penyelenggara negara yang menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan pihak lain,” jelas Khresna dalam keterangannya, Kamis, 19 Desember 2024.
Heri Pranyoto, selaku Direktur PT. Sarana lnvestama Manggabar (PT. SIM), bekerja sama dengan PT. Sarana Wisata lnternusa (PT. SWI), merupakan pihak swasta yang justru dirugikan dalam pelaksanaan perjanjian kerja sama Pemanfaatan Aset Pantai Pede, Manggarai Barat, Provinsi NTT.
Dalam konsep Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha (KPBU), seperti skema Bangun Guna Serah (BGS), PT. SWI bertindak sebagai sponsor (strategic partner) yang mendanai pembangunan sarana dan prasarana wisata agar PT SIM dapat merealisasikan proyek tersebut. Peran mitra strategis atau sponsor ini sepenuhnya lazim dalam kegiatan KPBU untuk mendukung pembangunan nasional.
Khresna menyebut putusan MA untuk Heri Pranyoto merupakan penzaliman terhadap pihak swasta dan mencederai prinsip kepastian hukum dan merusak iklim investasi di lndonesia.
Padahal keterlibatan sektor swasta dalam konsep KPBU bertujuan untuk mendukung pemerintah dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur strategis nasional, menuju masyarakat yang adil dan makmur. Keberlanjutan investasi di Indonesia hanya dapat dijamin apabila keadilan ditegakkan dan perlindungan hukum diberikan kepada para pelaku usaha yang bertindak sesuai peraturan.(*/gr)