AFBTVNews, Kota Kupang – Menempati rumah 3×6 meter berlantai tanah, berdinding bebak dan jendela yang ditutupi seng bekas seadanya, menjadi tempat tinggal Aditia, balita berusia 1,5 tahun bersama ibunya, Vince Nenogasu di RT/RW 02/01 Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Berlari tanpa alas kaki ditemani ibunya, Aditia terlihat gembira saat didatangi, 14 November 2024, raut senang dan senyum sumringah Ibunya ikut terpancar saat diberi bingkisan ala kadar.
Aditia dan ibunya Vince, merupakan warga Kelurahan Alak, wilayah dengan jumlah kepadatan penduduk sebanyak 908,47 jiwa/km² (data BPS kota Kupang tahun 2023). Mereka adalah sebagaian dari warga yang terdampak, akibat kebakaran berulang yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kecamatan Alak yang terdiri dari 12 kelurahan dengan luas wilayah 86,91 km².
Kembali terbakar lagi, Minggu 14 Juli 2024 pukul 13.13 wita, kebakaran TPA Alak masih menyisakan tanda tanya, mengapa dan apa sebab terjadi kebakaran, membawa trauma bagi warga sekitar, dengan kondisi timbunan sampah yang mengunung tak terurus dilahan seluas 9,4ha.
Vince mulai bercerita, kebakaran TPA Alak yang kerap berulang kali, membuat Aditia mengalami batuk, sesak napas, pilek bahkan seluruh tubuhnya gatal-gatal, menjadi koreng hingga meninggalkan bekas.
“Aditia sesak napas, batuk, pilek dan juga gatal-gatal dari pantat hingga lutut, gatal setengah mati (sangat gatal), airnya pecah dimana luka disitu, beta (saya) juga gatal-gatal, semua jari ini gatal, gonta ganti saleb tidak ada yang cocok, pakai obat kampung juga sonde (tidak) sembuh,”terang Vince.
Dengan tatapan nanar penuh harap, sambil mendekap Aditia dalam gendongannya, berujar sembari berharap, semoga TPA Alak jangan terbakar lagi, pasalnya, jika terbakar lagi, seluruh bau menyengat bercampur aduk menyeruak keluar, bahkan bau yang tak pernah dihirup sekalipun. “Semoga tidak terbakar lagi, kalau terbakar, bau yang datang campur aduk, apa yang tidak pernah dihirup, kita hirup bau harbabiruk (segala macam, sembarangan)”harap Vince.
Pengakuan lain datang juga dari bocah 10 tahun, Anus Iba, siswa kelas 4 SD Negeri Alak, saat ditemui di lokasi TPA Alak, antara malu dan enggan bercerita, nampak kucel dengan kaki di penuhi koreng yang dikerubutin lalat, perlahan dari mulutnya menceritakan, asap kebakaran di lokasi TPA, menyebabkan dirinya mengalami berbagai penyakit, dari batuk, pilek hingga mata terasa perih, namun kondisi tersebut mau tak mau harus dijalani dan tetap beraktivitas, pulang pergi ke sekolah, usai itu, bersama teman-teman sebaya tetap harus ke TPA, mengais sampah kardus dan botol, untuk dapat dijual lagi demi membeli beras untuk makan hari – hari sekeluarga.
“Waktu TPA Alak terbakar, asap masuk rumah, kita ada sakit, pilek batuk, tapi pagi ke sekolah dan pulang sekolah tetap datang di TPA, kita sudah biasa,”tutur Anus.
Kisah kebakaran TPA Alak juga meninggalkan rasa cemas dan ketakutan, Nur Fauziah ibu hamil yang tinggal di pemukiman RT/RW 23/07, Kelurahan Alak, kembali mengingat saat TPA pertama kali terbakar di tahun 2022, kondisi malam hari menjadi sangat gelap ditutupi kepulan asap hitam tebal dengan jarak pandang terbatas, asap yang berbau amat menyengat perlahan menyeruak masuk menyelumuti seluruh ruangan rumah tinggal, menyisakan cerita pengalaman lara tak terdengar.
“Asap hitam dan berbau, sampai tidak bisa bernapas, kita dikepung asap, pokoknya jangan lagi, cukup sudah, ngeri, beta (saya) tidak mau lagi,”kenang Nur Fauziah.
Belum hilang rasa trauma kebakaran TPA Alak dalam dua tahun belakangan, tahun 2024 kembali terbakar lagi saat kondisi Fauziah tengah mengandung 4 bulan, membekas menyisakan derita gangguan pernapasan, kontraksi, hilang nafsu makan, menderita iritasi, radang tenggorokan hingga rasanya terbakar sampai hilang suara.
Dirinya mengaku, harus keluar masuk rumah sakit berkali kali, hanya untuk mendapat perawatan pernapasan, selalu cemas, takut akan keselamatan dirinya dan janin yang dikandung. punya riwayat penyakit Asma dan di tambah asap akibat kebakaran TPA Alak, membuat Fauziah juga mau tak mau harus merogoh kantong untuk ekstra pengeluaran untuk membeli alat bantu pernapasan dan obat-obatan, persediaan pertolongan pertama jika kondisi sesak napas di tengah malam, karena jarak rumah sakit kurang lebih 11,3 km dengan rute tercepat 21 menit berkendara.
“Saya beli alat napas sendiri, karena saya riwayat asma, untuk jaga-jaga apalagi jika malam hari hitam pekat, mau lari kemana, anak-anakpun mengeluh, mau tidur bernafas rasanya telan ludah seperti ada kaleng terbakar,”tambah Nur.
Kondisi yang sama juga dirasakan, Adriana Nauk, akrab dipanggil mama Ana, perempuan lansia 80 tahun yang tinggal sebatang kara tanpa sanak keluarga, dengan kondisi tubuh yang cenderung bungkuk dan jalan tertatih tatih, menjadi potret salah satu dari sekian banyak warga yang terdampak asap kebakaran TPA Alak, tak lancar berbahasa Indonesia, sambil bertutur dalam bahasa daerahnya, diterjemahkan Esau Tokael, ketua RT setempat, kediaman mama Ana juga diselimuti asap hitam pekat berbau, sempat mengalami batuk dan sesak napas saat asap hasil kebakaran TPA Alak, namun dirinya tak mampu berbuat apa-apa, karena terlalu renta untuk berupaya, diam menunggu dalam rumah, sembari berharap ada warga yang datang membantu adalah satu-satunya jalan yang ia lakukan.
“Memang batuk-batuk, saya juga rasa asap, tapi saya sonde (tidak) tau buat apa, asap masuk, tapi karena saya sudah tua dengan kondisi begini, jadi diam saja dalam rumah,”ujar Ana.
Kerap terbakar dan dikeluhkan warga, Advokasi Rakyat Asrikan Kota Kupang (ARAK) ikut merasa jengah, bersama Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) NTT, kebakaran TPA Alak dilaporkan ke Kepolisian Daerah (Polda) NTT, namun tidak ada tindaklanjut hingga saat ini.
“Kita sudah pernah lapor ke Polda, dan saya sebagai saksi dalam BAP tapi sampai sekarang tidak ada tindaklanjut lagi,”kata perwakilan ARAK, Pangeran Suy.
Tak putus arang, pasca dua hari sejak TPA Alak terbakar kembali di tanggal 16 Juli 2024, WALHI mendaftarkan gugatan warga negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan tergugat Pemerintah Kota dan DPRD Kota Kupang perihal gagal dalam tata kelola sampah yang tidak sesuai dengan undang undang, nomor 18 tahun 2008 tentang tata kelola sampah.
Pemerintah Kota Kupang dinilai tidak ada itikad baik sama sekali terhadap tata kelola TPA Alak, karena selalu berdalih dengan berbagai alasan, dari keterbatasan dana sampai kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM), sehingga tidak maksimal dalam penanganan kebakaran dan pengelolaannya.
“Siklus kebakaran sampah berulang di TPA Alak, menggambarkan ketidakmampuan pemerintah kota Kupang, dalam mengelola sampah secara efektif,”kata Staf Advokasi, Kampanye dan Pengorganisasian Rakyat Walhi NTT, Gres Gracelia
Adapun gugatan PTUN berisikan 6 gugatan, diantaranya Wali Kota Kupang harus melakukan kewajibannya untuk mengelola TPA Alak berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang berlaku dalam uu 18/2008, PP 81/2012 dan Permen PUPR 03/2013.
Wali kota Kupang harus melakukan kewajibannya untuk menutup TPA Alak dengan system pembuangan terbuka, berdasarkan perintah dari uu 18/2008 dan mengalihkan menjadi TPA yang dioperasikan sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang berlaku dalam uu 18/2008, PP 81/2012 dan Permen PUPR 03/2013 dan Perda Kota Kupang nomor 3 tahun 2011.
Wali Kota Kupang harus melakukan kewajibannya untuk menyusun, menetapkan dan menyelenggarakan system tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya, sebagaimana diatur uu 18/2008 dan Perda Kota Kupang nomor 3 tahun 2011.
Wali kota Kupang harus melakukan inventarisasi emisi gas rumah kaca, dari sektor limbah setiap tahunnya, berdasarkan Perpres nomor 98 tahun 2021, untuk menjadi basis data penyusunan rencana aksi mitigasi perubahan iklim, yang didalamnya mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca dari TPA Alak Kota Kupang.
Wali Kota dan DPRD kota Kupang harus mengalokasikan anggaran yang memadai, untuk kegiatan pengelolaan sampah di Kota Kupang, sebagaimana diatur dalam UU nomor 32 tahun 2008.
DPRD Kota Kupang harus menjalankan pengawasan, terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang undangan lain, yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota, dengan pengelolaan sampah, sebagaimana diatur dalam uu nomor 23 tahun 2014.
“Alasan menggugat pemerintah, agar persoalan sampah menjadi persoalan yang serius untuk ditangani, tidak hanya dengan mengirim tangki air untuk padamkan api di lokasi TPA, sebab itu bukan solusi,”tandas Gres.
Dari sisi kesehatan, data yang dihimpun dari Kepala Puskesmas Alak, dr Panondang Panjaitan, mengungkapkan, ada peningkatan kasus pasien penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) selama masa kebakaran TPA Alak.
Kasus ISPA meningkat dari 6.819 kasus pada tahun 2022, naik menjadi 8.235 kasus pada tahun 2023 dengan klasifikasi pasien terbanyak merupakan balita, anak-anak, lanjut usia dan kelompok rentan.
“Kita sampai laporkan ke Dinas, bahwa memang ada peningkatan kasus dan memang secara data, terjadi peningkatan di kategori balita, anak-anak dan orang tua atau lanjut usia,”terang dr.Panondang.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kecamatan Alak, dibangun pada tahun 1997 dan mulai beroperasi sejak tahun 1998, merupakan fasilitas persampahan utama di Kota Kupang dengan luas area 9,14 Ha.
TPA Alak mulai mengalami kebakaran terhitung dari bulan Agustus, September dan Desember tahun 2022, terbakar lagi di bulan Oktober 2023 dan berulang lagi di bulan Juli 2024.
Plt Dinas Lingkungan dan Kebersihan (DLHK) Kota Kupang, Max Maahury, saat diwawancarai, Senin, 11 November 2024, menegaskan, Pemkot Kupang serius dalam penangganan kebakaran di TPA Alak, hal itu dibuktikan dengan proses penanganan pemadaman kebakaran TPA Alak yang terbakar lagi di bulan Juli 2024 hanya membutuhkan waktu selama 7 hari.
“Kita serius, kalau tidak serius maka kebakaran kemarin itu tidak mungkin hanya 7 hari,”tandas Max
Dengan bukti keseriusan penanganan itu, ditegaskan bahwa, Kota Kupang tidak menetapkan status keadaan darurat seperti tahun sebelumnya.“Kan waktu kebakaran hanya satu minggu, bisa diatasi, tidak ada keadaan darurat, ini fenomena umum hampir semua TPA di Indonesia terbakar,”tambah Max.
Sebelumnya, ditahun 2023 Pemkot Kupang mengelontorkan anggaran Belanja Tak Terduga (BTT) sebesar Rp.1,3 milliar untuk kebutuhan penanganan pada posko tanggap darurat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setelah menetapkan status tanggap darurat Bencana Kebakaran sesuai Surat Pernyataan bencana alam dari Pj Wali Kota Kupang nomor 011/BPBD.300.2.1/XI/2023 tanggal 6 November 2023 serta surat pengantar nomor BPBD.360/247/Bid.III/XI/2023.
Namun saat jumlah anggaran tersebut direviu oleh Inspektrotat Kota Kupang, direkomendasikan pengunaan anggaran BTT hanya sebesar Rp. 525juta untuk 14 hari kerja, yang keseluruhan dananya dipakai untuk operasional, tak sepersenpun bagi penanganan warga terdampak.
TPA Alak hingga tahun 2024, masih menerapkan model pengoperasian controlled landfill, atau sistem pengelolaan sampah yang memakai alat berat untuk meratakan dan memadatkan sampah dengan pola Open Dumping (pembuangan terbuka), cara pembuangan sampah secara sederhana.
Sampah hanya dibuang begitu saja dan dibiarkan terbuka, dimana sampah yang masuk ke kawasan TPA Alak, tidak melewati proses pemilahan terlebih dahulu. Sampah-sampah ini langsung dibuang ke lokasi penumpukan sampah. Kondisi ini berpotensi menimbulkan dampak dampak seperti kebisingan, ceceran sampah, debu, bau, dan binatang – binatang vektor. Kondisi ini akan menimbulkan polusi air, tanah dan udara serta berbagai dampak bagi masyarakat di kawasan sekitar TPA.
Alur sistem pengumpulan sampah di Kota Kupang, secara besar masih menggunakan paradigma lama, yaitu sampah yang dibuang masyarakat dikumpulkan di tempat pembuangan sampah sementara (TPS), kemudian sampah-sampah ini diangkut dengan menggunakan truk sampah dan terakhir dibuang di tempat pembuangan akhir Alak.
Pengelolaan sampah di TPA Alak, saat ini dengan kondisi eksisiting sampah yang masuk ke TPA Alak tidak melalui proses pemilahan, hanya memiliki fungsi utama sebagai penampungan akhir. Selain aktifitas utama sebagai penampungan akhir, di TPA Alak juga terdapat pembuangan limbah tinja. Lokasi TPA juga menjadi lokasi pemeliharaan ternak seperti sapi, kambing dan babi oleh masyarakat sekitar TPA.
Data DLHK Kota Kupang, tahun 2022, produksi/timbulan sampah mencapai 227,93 ton per hari dengan kondisi sampah yang diangkut ke TPA Alak hanya sebanyak 160 ton per hari. Sisanya didaur ulang (dibawa oleh penghasil sampah ke Pengepul, Bank Sampah, Rumah Kompos, TPS 3R), ada yang masih dibuang di sembarang tempat atau dibakar).
2023, volume produksi sampah meningkat mencapai 234,46 ton per hari, dengan kondisi sampah yang diangkut ke TPA Alak hanya sebanyak 166,51 ton per hari. Sisanya itu ada yang didaur ulang (dibawa oleh penghasil sampah ke Pengepul, Bank Sampah, Rumah Kompos, TPS 3R), ada yang masih dibuang di sembarang tempat atau dibakar).
Adapun komposisi sampah yakni sisa makanan 29 persen, Plastik 19,5 persen, Kayu Ranting dan Daun 17 persen, Kertas Karton 13persen, Lainnya 8,15 persen, Logam 4,25 persen, Kaca 3,3 persen, Kain/tekstil 3 persen dan Karet/Kulit 2,8 persen.
Sementara Sumber Sampah berasal dari sampah rumah tangga 48persen, Pasar 19,5persen, Pusat Perniagaan 11persen, Perkantoran 8persen, Fasilitas Publik 7,5persen; Kawasan 4persen dan lainnya 2persen.
Janji Pemkot Kupang
Pemerintah Kota (Pemkot) dan DPRD Kota Kupang, menanggapi persoalan TPA Alak, berjanji akan menjadi atensi dalam persidangan maupun terkait postur anggaran untuk kebersihan Kota Kupang.
“Kita tunggu wali kota definitif, karena ada dalam visi misi siapa tahu ada inovasi yang akan mereka lakukan, untuk saat ini berjalan seperti sekarang,”tandas Pj Wali Kota Kupang, Linus Lusi.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Kupang, Richard Odja, saat dikonfirmasi mengatakan, bahwa DPRD juga berharap ada keseriusan dari pemerintah dalam pengolahan TPA Alak, dari perencanaan hingga perubahan sistem
“Yang pasti, kita DPRD akan mendukung kalau ada rencana kerja untuk pengolahan TPA Alak, tapi kalau memang belum kelihatan kita akan angkat di persidangan,”kata Richard.
DLHK pasca kebakaran Juli 2024, janji segera mengubah pola pengelolaan sampah pada TPA Alak dari sistem Open Dumping menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di tahun 2025.
Pembenahan pola pengelolaan TPA Alak tersebut, direncanakan dengan menggunakan anggaran dari Pemerintah Pusat yang telah dikoordinasi bersama dengan PUPR untuk segera membangun TPST.
“Kita sangat serius sekali, artinya bahwa ke depan ini tidak ada open dumping lagi, harus diubah pakai sistem TPST, mulai tahun depan jika anggaran itu ada dari pusat maka seluruh sampah-sampah akan di timbun dalam tanah system sanitary landfill,”tandas Max
Kepala Bagian Bidang Bina Marga Dinas PUPR Kota Kupang, Micky Natun, mengakui pola atau system open dumping TPA Alak saat ini memang sudah sangat tidak dapat diberlakukan lagi, karena sampah tidak diolah, sehingga akhirnya disepakati untuk mengubah TPA Alak menjadi TPST.
“TPA Alak itu memang tidak bisa dijalankan lagi di Kota Kupang, sehingga kita sepakat membuat TPST,”tandas Micky
Perencanaan perubahan system TPA Alak dari open dumping ke TPST telah dibuat dalam DED atau Design Enginering Detail untuk pembangunan fisik yang akan dilaksanakan di tahun 2026 mendatang. Pola pengolahan sampah system TPST, termasuk juga akan dibangun Intalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) dengan total anggaran mencapai Rp.112 milliar, dengan rincian pembangunan fisik TPST menelan anggaran Rp.100juta yang dibagi dalam pembangunan fisik infrastrukstur sebesar Rp.60milliar dan Rp.40milliar untuk pengadaan peralatan pengolahan sampah. Sementara pembangunan IPLT, anggaran yang diperkirakan sebesar Rp.12 milliar.(*)
Editor Garry Rudolf Liu