HomeHeadlinePIKUL: Pemerintah Baru Harus Wujudkan Kemandirian Pangan NTT!

PIKUL: Pemerintah Baru Harus Wujudkan Kemandirian Pangan NTT!

AFBTVNews, Kota Kupang- Yayasan PIKUL merespons program utama pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur baru NTT, “Dari Ladang dan Lautan: Efisien, Modern, dan Aman”, dengan menegaskan langkah-langkah strategis dalam menghadapi tantangan dan potensi kedaulatan pangan di NTT.

Yayasan PIKUL menyoroti kondisi kedaulatan pangan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan menegaskan pentingnya komitmen pemerintah dalam memperkuat pangan lokal berbasis kearifan masyarakat. Hasil kajian terbaru PIKUL menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak berpihak pada pangan lokal memperdalam krisis ketahanan pangan POLICY MEMO PIKUL.

NTT menghadapi dampak serius perubahan iklim berupa kekeringan, gagal panen, dan menurunnya hasil tangkapan laut. Petani tadah hujan dan nelayan tradisional menjadi kelompok paling terdampak. Laporan IPCC 2022 menekankan pentingnya adaptasi yang inklusif untuk melindungi kelompok rentan.

“NTT menghadapi dampak perubahan iklim berupa kekeringan, gagal panen, dan menurunnya hasil tangkapan laut. Petani tadah hujan dan nelayan tradisional, yang memiliki pengetahuan ekologi turun-temurun, kini semakin terpinggirkan. Lahan di NTT dapat mencukupi kebutuhan pangannya sendiri jika tidak dipaksakan menanam padi.” tegas Dina Soro, Manajer Advokasi dan Kampanye PIKUL.

Dalam hal ketersediaan pangan, NTT menghadapi tantangan serius akibat perubahan iklim yang berdampak pada produktivitas pertanian dan perikanan. Petani dan nelayan memiliki kontribusi yang besar dalam mendukung kedaulatan pangan di NTT. Petani dan nelayan menyesuaikan aktivitasnya  dengan keadaan iklim dan kondisi geografis di sekitar mereka. Di Nusa Tenggara Timur yang beriklim semi ringkai, selama berabad-abad petani membentuk budaya dan pengetahuan lahan kering yang terbukti memiliki daya tahan. Sementara itu, di wilayah pesisir, pemanfaatan hasil laut pun memiliki budaya dan pengetahuan lokal yang menyesuaikan dengan kondisi alam setempat termasuk budaya konservasi laut. Proses adaptasi masyarakat NTT dengan kondisi ekologi sebetulnya begitu luar biasa, namun seiring masuknya modernisasi lewat penjajahan dan pembangunan, pengetahuan dan adaptasi unik ini justru diabaikan dan dihancurkan secara sengaja. Implikasi dari proses ini adalah turunnya kemampuan adaptif masyarakat yang sebenarnya saat ini menjadi relevan karena bumi sedang mengalami perubahan iklim.

Nusa Tenggara Timur memiliki potensi besar dalam mewujudkan kedaulatan pangan berbasis kearifan lokal. Setiap wilayah memiliki varietas umbi-umbian, kacang-kacangan dan serealia yang unik dan beragam seperti ubi kayu, gembili, gadung, kacang merah, kacang tunggak, sorgum, dan jewawut. Dengan memanfaatkan ketahanan pangan ini akan mengurangi ketergantungan pada impor dan memperkuat identitas kuliner daerah.

Strategi kemandirian pangan perlu melihat kembali keanekaragaman ekologi dan lingkungan di berbagai wilayah di NTT, serta perbedaan sikap/praktek/tradisi dalam proses produksi pangan. Kebijakan pada level provinsi oleh berbagai stakeholder sangat penting dalam merumuskan dan mendorong penganekaragaman pangan berbasis kearifan lokal.

Berdasarkan UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal darisumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. UU No. 18 tahun 2012 secara spesifik juga mengatur tentang diversifikasi pangan, yakni upaya penganekaragaman konsumsi pangan untuk meningkatkan gizi masyarakat dan mengurangi ketergantungan pada beras.

Kebijakan dan program pangan di Indonesia menunjukkan adanya beberapa paradoks dalam implementasi kedaulatan pangan. Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal yang menjadi momentum penting dalam penguatan kedaulatan pangan semua wilayah termasuk di NTT. Perpres ini mengatur percepatan penganekaragaman pangan berbasis sumber daya dan kearifan lokal melalui delapan strategi nasional: penguatan kebijakan, pengarusutamaan produksi-konsumsi, optimalisasi lahan, pengembangan industri UMKM, perluasan distribusi, edukasi masyarakat tentang B2SA (Pangan Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman), pengembangan teknologi dan insentif, serta penguatan kelembagaan ekonomi petani dan nelayan.

Melalui Policy Memo PIKUL tanggal (20/02/2025) ditegaskan bahwa “Keberagaman dan fleksibilitas produksi pertanian dan perikanan adalah kunci dalam menghadapi perubahan iklim. Hilirisasi sedapat mungkin berada pada pengembangan strategi yang memungkinkan keragaman dan fleksibilitas dapat dijaga. Karena itu monokulturisasi bukanlah pilihan. Dengan keterbatasan luas wilayah, keunikan ekosistem dan iklim, peningkatan ekonomi berbasis agraria perlu diletakkan dalam bingkai peningkatan kualitas dan keunikan.”

“Hilirisasi pangan harus menjaga keragaman, bukan memonokulturkan produksi. NTT kaya dengan pangan lokal yang adaptif terhadap iklim. Pemerintah baru harus memanfaatkannya.” Ungkap Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.

Partisipasi dan jaminan atas hak tenurial adalah fondasi dari adaptasi perubahan iklim. Kemiskinan dan rendahnya kemampuan adaptif terjadi karena pemaksaan-pemaksaan teknologi dan asupan internal yang seringkali tidak sesuai. Partisipasi memungkinkan proses ko-kreasi pengetahuan dan keterampilan baru yang lebih sesuai dengan kondisi lokal yang dibutuhkan dalam konteks beradaptasi. Jaminan perlindungan hak tenurial memungkinkan produsen pangan memiliki opsi yang lebih luas tanpa rasa khawatir atas kehilangan akses terhadap sumber daya agraria.

“Secara menyeluruh, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berkarakter kepulauan harus mampu menghadapi perubahan iklim. Pengkajian risiko perubahan iklim secara berkala dan evaluasi pembangunan yang mengintegrasikan ketahanan iklim menjadi prasyarat mutlak yang tidak bisa ditawar.” Jelas Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.  (*)

Editor Gerry Rudolf Liu

RELATED ARTICLES
Continue to the category

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Most Popular

Recent Comments